Catatan Kritis Akhir Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Dana Kampung di Kota Jayapura

Catatan Kritis Akhir Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Dana Kampung di Kota Jayapura

Senin, 30 Desember 2019

Banyak masyarakat bertanya-tanya, sudah sekian lama dana desa (=di Jayapura disebut kampung) dikucurkan ke kampung-kampung, namun hasilnya masih belum signifikan. Di mana letak kekurangannya? Dalam tulisan ini akan menampilkan beberapa catatan kritis pengelolaan dana kampung untuk menjadi perhatian para pihak yang berkepentingan, aparat kampung dan masyarakat, khususnya masyarakat kampung agar turut mengawasi dan peduli menyampaikan aspirasi untuk. 

Apa yang diharapkan pemerintah dengan alokasi dana kampong?

Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) pernah mengekspos keberhasilannya dalam mengubah desa terisolir dan miskin menjadi desa-desa swasembada, listrik terang benderang, lorong-lorong jalan yang mulus, berbagai industri kreatif kampong telah dihasilkan, dan perekonomian masyarakat yang meningkat. Berkat dana kampung berbagai potensi local dapat diangkat dan menjadi lahan pekerjaan banyak orang. Keinginan pindah bekerja ke kota pun beralih untuk membuka berbagai kegiatan dan pekerjaan yang produktif di kampungnya sendiri. Itulah tujuan pemerintah menggelontorkan dana kampong tersebut. Namun sebagian besar harapan ini terwujud di  Jawa, Sulawesi, Sumatera, Bali, dan lain-lain. Bagaimana dengan hasil pengelolaan dana kampung di Papua, khususnya di Kota Jayapura?

Keberhasilan yang sepadan seharusnya juga terjadi di semua kampung yang menerima dana alokasi dan sumber pendapatan lainnya yang meningkat setiap tahunnya itu. Namun kenyataannya masih banyak PR untuk membantu kampong-kampung di Papua untuk dapat mengoptimalkan pengelolaan dana kampong sesuai dengan potensi dan sumber daya lokalnya masing-masing. Masih banyak temuan hasil pengawasan mengenai permasalahan pengelolaan dana kampong. 

Pembangunan harus melibatkan semua warga masyarakat untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri. Itulah pentingnya melakukan kegiatan kampung dengan pola swakelola. Artinya, prakarsa mulai perencanaan kebutuhan, penentuan jenis program dan kegiatan, pengelolaan, pengendalian, evaluasi dan sebagainya dilakukan secara mandiri sesuai dengan peraturan serta bimbingan pemerintah. Begitu pun dalam pelaksanaan program dan kegiatan harus mengoptimalkan tenaga kerja lokal, bahan baku local, pengamanan dari masyarakat local, kecuali untuk sarana atau keahlian tertentu yang benar-benar tidak dapat disediakan masyarakat lokal. Itu pun harus ada transfer knowledge dan teknologi agar secara bertahap kampong bisa mandiri. Sehingga uang yang digunakan untuk pembangunan tersebut tidak akan mengalir keluar kampung. 

Dengan menggunakan tenaga kerja setempat, diharapkan pelaksanaan kegiatan tersebut bisa menyerap tenaga kerja dan memberikan pendapatan bagi mereka yang bekerja. Sementara penggunaan bahan baku lokal diharapkan akan memberikan penghasilan kepada masyarakat yang memiliki bahan baku tersebut.

Beberapa permasalahan penggunaan dana kampong

Menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, desa (=kampung) adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dan kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Terkait dengan dana kampong, menurut pasal 1 Permendes Nomor 19 tahun 2017, bahwa dana desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi ada empat hal prioritas penggunaan dana kampung, namun lebih fokus ke tiga hal, yaitu untuk pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Dari amanat Permendes di atas untuk tingkat Kabupaten/Kota mengeluarkan kebijakan dengan mempertimbangkan tipologi, hak asal-usul dan adat istiadat setempat. Di Pemerintah Kota Jayapura untuk dana kampung tahun anggaran 2018 mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan tahun 2018 pada Pemerintah Kota Jayapura, pertama: Perda Nomor 6 Tahun 2017 tentang APBD tahun 2018. Kedua: Perwal Nomor 8 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Kampung. Ketiga: Peraturan Walikota Jayapura Nomor 04 Tahun 2018 tentang Tatacara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Kampung. Dan Keempat: Perwal Nomor 7 tahun 2018 tentang Penggunaan Aplikasi Sistem Keuangan Desa dan Kode Rekening Desa dan Perwal Nomor 6 tahun 2018 tentang Penghasilan Unsur Pimpinan Kampung.

Beberapa kebijakan pengelolaan dana kampung di atas adalah sebagai dasar DPMK sebagai pembina dan pemerintah kampong sebagai pelaksana. Namun berdasarkan laporan hasil pemeriksaan terhadap beberapa kampung di Kota Jayapura masih banyak terdapat kelemahan tata kelola. Pada tahap perencanaan misalnya, ketersediaan dokumen kebijakan/administrasi pengelolaan belum memadai. Di samping itu kemampuan sumber daya manusia (SDM) staf dan aparat kampong masih kurang pendampingan. Proses pengadaan barang dan jasa banyak yang belum sesuai ketentuan di Kota Jayapura. Fungsi advice dan pengawasan dan pengendalian dinas terkait masih kurang. Batasan kewenangan serta koordinasi antara aparat kampung dengan Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) dan pendamping yang ditugaskan propinsi juga masih belum jelas. 

Khusus mengenai ketepatan pemenuhan dokumen serta keterlambatan laporan pertanggungjawaban berakibat lambatnya penyaluran dana untuk tahap berikutnya. Maka tidaklah heran jika masih ada dana tahun 2018 masih berlangsung kegiatan hingga pada awal tahun 2019. Dan selanjutnya berimbas kepada serapan anggaran dana kampong di tahun 2019, yang hingga akhir tahun masih banyak yang baru mencairkan tahap ke-2 dari tiga tahap penyaluran yang direncanakan.

Dari hasil pengamatan penulis bersama Tim atas penelitian dokumen perencanaan hingga pelaporan dan realisasi fisik kegiatan serta didukung hasil wawancara terbatas dengan beberapa aparat kampong, anggota Bamuskan dan pendamping dapat diidentifikasi beberapa penyebab permasalahan di atas adalah sebagai akibat dari hal-hal berikut ini.

Pertama: keterlambatan peraturan terkait ke tingkat kampong. peraturan walikota tentang besaran tiga sumber utama pembangunan kampong yaitu; dana kampong, dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah dan alokasi dana kampong hingga bulan Mei sampai Juni. Hal ini berimbas kepada penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Kampung (APBKAM) yang derencanakan di tingkat musrembang kampong.

Kedua: kurang dan belum efektifnya peran tenaga pendamping. Kondisi di lapangan dimana dari segi jumlah satu pendamping ditugaskan propinsi untuk mendampingi dua atau tiga kampong. Disamping itu pendamping juga mengaku tidak sepenuhnya mendapat akses informasi terkait dana dari kepala kampong sehingga sulit mengarahkannya. 

Ketiga: kurang difahaminya pedoman pengelolaan dana kampung secara baik. Hal ini disebabkan oleh minimnya waktu dan metode kegiatan pendampingan oleh dinas terkait. Akibatnya masih banyak kesalahan di sana-sini terkait proses perencanaan, alokasi penganggaran kegiatan, proses pengadaan barang dan jasa untuk jumlah tertentu, pemenuhan dokumen proses kegiatan dan kelengkapan bukti belanja serta pelaporan.  

Keempat: rendahnya kompetensi aparat kampung dalam pengelolaan dana kampong. Hal ini tampak dari minimnya analisis/kajian kebutuhan masyarakat, identifikasi potensi lokal, penyusunan dokumen perencanaan. Lemahnya dokumen perencanaan seperti kurangnya keselarasan antara RPJM Kampung dengan RKP Kampung, Program/Kegiatan pertahun dengan skala prioritas kebutuhan masyarakat. Penyusunan administrasi pelaksanaan kegiatan seperti perjanjian kerja apabila melibatkan pihak ketiga, daftar hadir aparat kampong, berita acara serah terima bantuan, dan lain-lain masih sangat kurang. 

Keempat: kurangnya pengawasan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung (DPMK). Menurut pihak Dinas hal ini disebabkan oleh faktor minimnya dukungan anggaran pendampingan dan pengendalian. Sehingga dari aspek kinerja masih banyak kantor pemerintahan kampong yang kosong melompong pada hari kerja efektif yang mempengaruhi pelayanan kepada masyarakat. Penghasilan aparat yang diterima setiap tiga bulan menjadi alas an utama kurangnya kehadiran aparat kampong, karena mereka harus mencari sumber penghasilan lain di kebun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Akibat lemahnya pengelolaan dana kampung

Beberapa akibat lemahnya pembinaan dan pengawasan dana kampong berakibat pada belum terpenuhi dan konsistennya dokumen perencanaan, lemahnya kegiatan pendampingan dan pengendalian, rendahnya kualitas dan kuantitas hasil, serta ketidaktepatan dalam pelaporan. 

Pertama: kurangnya kuantitas dan kualitas pemenuhan dokumen perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan pengelolaan dana kampung antara lain: (a) kurangnya konsistensi isi program dan kegiatan antara yang tertulis di RPJMK 2018-2022 dan Rencana Kerja Pemerintah Kampung 2018. Beberapa kegiatan di RKP Kampung kurang terdistribusi secara proporsional sesuai program di RPJMK; (b) tidak memiliki notulen rapat saat pembahasan penyusunan RPJMK, RKP Kampung dan APB kampung, dan saat penyusunan laporan kegiatan sehingga peran Bamuskam dan masyarakat sulit diketahui; (c) tidak terdapat SK penerima bantuan yang memuat identitas penerima bantuan Dana Kampung; (d) tidak menyusun SOP/syarat dan prosedur Pemberian dan Pembinaan penerima bantuan Dana Kampung; (e) tidak menyusun SOP/KAK pengadaan barang dan jasa secara swakelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan (f) tidak ada MoU atau naskah kerjasama jika kegiatan, karena suatu kondisi harus melibatkan pihak ketiga, (g) tidak menyusun jadwal dan format kendali pelaksanaan kegiatan.

Kedua: kurang berjalannya pengendalian dan pengawasan internal, misalnya: (a) belum ada dokumen Rencana Tindak Pengendalian (RTP) resiko kegiatan prioritas; (b) belum adanya jadwal dan laporan pengawasan internal secara berjenjang; (c) belum adanya catatan kesimpulan dan tindak lanjut hasil pengawasan internal; (d) kurangnya pengawasan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung (DPMK); (e) transparansi/pengomunikasian proses pelaksanaan kegiatan berkala kepada masyarakat dan stakeholder belum dilakukan; dan (f) kurang efektifnya kinerja pendamping.

Ketiga: Kurang efektif dan efisiennya hasil program dan kegiatan. Misalnya, beberapa output kegiatan untuk kesejahteraan masyarakat belum efektif. Ada kegiatan yang lebih banyak melibatkan pihak ketiga, padahal dialokasikan dana kampung dimaksudkan agar dikelola masyarakat (padat karya). Ada pembangunan jalan produksi namun dalam tiga bulan sudah menjadi semak belukar dan tidak digunakan (kurang efektif). Ada bantuan ternak untuk budidaya, namun belum satu tahun menurut pengakuan penerima bantuan, ternak sudah hilang. Juga transfer knowledge dan teknologi kepada masyarakat dalam proses pekerjaan fisik masih kurang, dan sejenisnya. Penggunaan dana untuk beberapa program kegiatan juga masih belum efisien, misalnya ada kegiatan pembangunan namun material didatangkan dari luar kampong. Ada jalan produksi dan pondok wisata namun lebih banyak melibatkan pihak ketiga, masalah kekurangnya volume pekerjaan, dan sejenisnya.

Keempat: kualitas dan ketepatan pelaporan realisasi pelaksanaan APB Kampung masih sangat kurang. Misalnya terkait tata cara pencairan dana kegiatan pembangunan di suatu kampung masih ada yang kurang sesuai dengan dokumen MoU, seperti tanggal pencairan dana sama dengan tanggal pelaksanaan MoU. Belum adanya SK penanggung jawab/pelaksana kegiatan, dengan alasan melekat pada tugas fungsi jabatan aparat. Belum adanya kerangka acuan kerja kegiatan (KAK) yang disusun sekretaris kampong sebagai pedoman pelaksana kegiatan. Administrasi pemberian/penerimaan bantuan berupa daftar dan berita acara serah-terima tidak memadai. Penulisan belanja kegiatan dalam kuitansi tidak terinci, masih global (glondongan perpaket), tidak disertai rincian jumlah/harga satuan, dan sebagainya. Dan adanya keterlambatan laporan pertanggungjawaban (LPJ) setiap triwulan, jika hal ini terjadi pada triwulan III berakibat keterlambatan kegiatan dan pencairan triwulan III memasuki tahun berikutnya.

Secara umum pihak pemerintahan kampung membenarkan adanya temuan tersebut di atas. Namun ada beberapa alasan mereka, yaitu masih kurangnya bimbingan dan pengawasan dinas terkait. Bimbingan dan pendampingan penyusunan administrasi dan penatalaksanaan pengelolaan dana kampong sangat mereka harapkan, mengingat kemampuan SDM kampong masih perlu penguatan secara berkelanjutan. 

Beberapa kegiatan pembimbingan dan pendampingan yang dibutuhkan aparat kampung, misalnya penyusunan petunjuk teknis (Juknis), produk peraturan kampong agar konsisten antara Permendes-Peraturan Walikota-RPJM-RKP-APB, penyusunan SK penanggung jawab, SK penerima manfaat bantuan, SOP kegiatan atau pemberian bantuan kepada masyarakat, serta pelaporan. Dalam permasalahan tersebut, pihak DPMK menyatakan telah mengadakan bimbingan teknis, bahkan pemberian buku panduan. Namun kurangnya dukungam fasilitasi (kendaraan operasional dan perjalanan dinas) untuk pendampingan lanjut dan pengawasan lekat terhadap pengelolaan dana kampung jangkauannya menjadi sangat terbatas. 

DPMK juga mengaku sulit mengendalikan dan bekerjasama dengan tenaga pendamping karena mereka tidak diangkat pemerintah kota. Di sisi lain pendamping mengaku kesulitan dalam melakukan bimbingan kepada aparat kampung karena tertutup dalam hal keuangan. Padahal pembimbingan paling efektif ada pada proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Pendamping menurutnya sangat diperlukan aparat kampong pada saat menyusun dokumen perencanaan dan penyusunan laporan.

Rekomendasi penanganan masalah 

Dari beberapa paparan di atas penulis berharap agar pemerintah Kota Jayapura, pemerintah kampung serta pihak terkait untuk mempercepat adanya upaya perbaikan dengan mempertimbangkan beberapa saran di bawah ini, agar dana kampong benar-benar dikelola secara efektif, efisien serta berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat kampung secara adil dan merata.

Pertama, peningkatan peran dan fasilitasi kepada dinas terkait dalam memberikan bimbingan kepada Bamuskam dan Perangkat Kampung terkait penyusunan administrasi perencanaan dana kampung berdasarkan analisis kebutuhan dan potensi kampung seperti: RPJMK, RKP, SK, KAK, SOP, format kendali kegiatan, MoU, notulensi, persuratan dan sejenisnya sesuai kebutuhan.

Kedua, peningkatan kompetensi bendahara terkait pembukuan penerimaan dan belanja dana kampung dan laporan realisasi APBK sesuai Standar Akuntansi Pemerintah.

Ketiga, pengangkatan bendahara barang untuk mengadministrasikan, penggunaan dan pemeliharaan asset kampong untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.

Keempat, mengintensifkan peran Inspektorat dalam membantu penyusunan program kerja melalui metode pembimbingan atau pendampingan, selain pengawasan. Pengangkatan tenaga pendamping yang diadakan oleh kabupaten/kota di setiap kampong, agar pendampingan lebih efektif dan efisien serta lebih memahami kearifan lokal. Walikota sudah mengangkat pembantu operasional seperti sebagai admin beberapa lulusan perguruan tinggi dari anak-anak kampong merupakan langkah maju untuk mengatasi hal ini. Namun peran mereka perlu ditingkatkan untuk dilibatkan atau mewarnai penyusunan kebijakan kampong. 

Keenam, diperlukan pemeriksaan berjalan (Probity Audit), dengan menugaskan Inspektorat Kota Jayapura untuk mengawasi tata kelola dana kampung mulai dari proses perencanaan sebelum diajukan pada musyawarah rencana pembangunan (musrembang) kampung, penyusunan RKP Kampung, pelaksanaan kegiatan, dan pelaporan program/kegiatan di kampung. 

Pihak pemerintah kampung, pemerintah kota, pemerhati pembangunan kampung dan masyarakat harus bahu membahu meningkatkan kualitas pembangunan di kampung dari hulu hingga hilir. Senyum bahagia masyarakat atas pelayanan negara untuk mereka tercermin dari sejauh mana efektivitas dan efisiensi dana kampung dikelola dan dimanfaatkan. Bukan sekedar bagaimana menghabiskan anggran dan ada out put, namun harus diperhatikan out comes apa yang sesuai untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat masing-masing kampung. Potensi lokal yang belum digarap baik menyebabkan kurangnya pendapatan asli kampung di Kota Jayapura. Keberhasilan pemerintah atas pengelolaan dana kampung sebenarnya terletak dari indikator berkembangnya potensi lokal yang produktif, dapat menjadi penghasilan asli kampung dan selanjutnya menciptakan kampung yang mandiri dan berswasembada.


Disusun oleh: Nurhadi (Pengawas Pemerintahan Madya, Inspektorat Kota Jayapura)

e-Aduan

Masyarakat dapat melakukan pengaduan atas dugaan adanya gratifikasi, korupsi, manipulasi dan sejenisnya yang berpotensi merugikan negara atau diskriminasi pelayanan melalui tautan ini dengan mengunggah minimal 2 alat bukti yang sah (identitas pelapor dijamin kerahasiaanya). Jika memenuhi syarat akan kami tindaklanjuti.

  Kunjungi
e-Konsultasi

Pimpinan atau ASN OPD dapat melakukan konsultasi atas Penyusunan Raperda / Raperwal, Isi Perda / Perwal, Perencanaan Program / Kegiatan, Pelaporan Kegiatan dan lain-lain secara online melalui tautan ini.

  Kunjungi
e-Audit

Tautan ini hanya dibuka untuk internal Inspektorat--OPD dalam rangka pengawasan dan koordinasi. e-Audit sebagai sarana pengawasan penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara oleh instansi pemerintah mulai dokumen perencanaan, pelaporan hingga evaluasi untuk memastikan adanya kepatuhan perangkat daerah atas peraturan perundangan, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program/kegiatan demi terwujudnya good and clean government.

  Kunjungi